Generasi Emas Yang Tak Mendapatkan ‘Emas’

waktu baca 5 menit

Bicara mengenai generasi emas, beberapa tahun terakhir ini kita memandang Belgia sebagai salah satu negara yang sedang diperkuat oleh generasi emasnya. Generasi emas Belgia ini pertama kali muncul pada tahun 1980an.

Saat itu, Belgia berhasil masuk ke final Piala Eropa 1960 namun mereka ditaklukkan oleh Jerman Barat di partai puncak. Setelahnya, Belgia yang datang ke Piala Dunia 1986 mampu melaju hingga semifinal.

Saat itu, mereka diperkuat beberapa pemain kunci seperti Hugo Broos, Jan Ceulemans, Eric Gerets, hingga Jean-Marie Pfaff. Status mereka saat itu sebenarnya memang diperhitungkan. Bahkan dalam perjalanannya di Piala Dunia 1986 setelah berhasil lolos grup, mereka mampu menundukkan Uni Soviet hingga Spanyol.

Sayang, mereka harus tunduk oleh Argentina di semifinal, yang saat itu juga Argentina berhasil menjadi juaranya. Belgia saat itu pun harus puas menjadi juara keempat setelah ditaklukkan Prancis di perebutan tempat ketiga.

Namun capaian tersebut merupakan sejarah bagi sepakbola Belgia. Sebelum akhirnya mereka bisa melaju lebih jauh di Piala Dunia 2018.

Perombakan Besar

Munculnya generasi emas saat itu bermula dari keresahan prestasi sepakbola Belgia yang medioker. Sejak tahun 1980an, kiprah Belgia di kancah internasional seakan tidak diperhitungkan lagi oleh lawan.

Pada tahun awal 2000an, ketua federasi sepakbola Belgia, Michel D’Hooghe menunjuk Michael Sablon sebagai direktur olahraga federasi untuk memulai mereformasi sepakbola Belgia. Hal ini merupakan buntut dari kegagalan dan titik terendahnya sepakbola Belgia di Piala Eropa 2000.

Generasi Emas Yang Tak Mendapatkan ‘Emas’
Sumber: Bleacherreport

Melalui tangan dingin Sablon, langkah pertama yang ia lakukan adalah mengobservasi dan banyak belajar dari negara tetangga yang sukses kala itu. Pertama ia belajar ke Prancis yang saat itu memang sedang berjaya setelah menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.

Hasil generasi emas Prancis itu berkat dari sistem pendidikan olahraga, program akademi sepakbola hingga teknik pelatihan. Semua itu berkat andil dari seorang direktur teknik Prancis, Gerard Houllier. Sejak saat itu, Sablon terus belajar dengan Houllier.

Selain ke Prancis, Sablon juga belajar ke Belanda. Disana ada seorang maestro sepakbola bernama Johan Cruyff. Bersama Cruyff, Sablon belajar banyak terkait pengembangan individu dan taktikal permainan. Apalagi saat itu Belanda sedang bagus-bagusnya memainkan gaya permainan yang disebut Total Football.

Fondasi 4-3-3

Setelah belajar banyak, akhirnya Sablon menentukan pakem permainan pembinaan usia dini Belgia dengan formasi 4-3-3. Tapi sebelum itu, Sablon bekerja sama dengan berbagai universitas untuk melakukan penelitian. Ia dan tim setidaknya menganalisis 1500 video pertandingan dari berbagai kelompok usia.

Mereka menganalisis kemampuan passing, dribbling, crossing dan yang lainnya. Selain itu, Sablon juga menganalisis psikologi dan mental pemain. Proses analisis Sablon ini cukup memakan waktu yang banyak, setidaknya menghabiskan 2,5 tahun untuk melakukan semuanya ini sebelum ia memutuskan untuk menggunakan formasi dasar 4-3-3.

“4-3-3 sangat penting dalam mengasah pemain masa depan,” kata Sablon. “Nilai sistem permainan yang berbeda dan 4-3-3 akan menjadi yang paling efisien, karena Anda memiliki empat sejajar di belakang, segitiga defensif dan ofensif di lini tengah, seorang striker dan dua pemain sayap, yang menggiring bola melewati lawan adalah hal yang sangat penting.” Sambung Sablon seperti yang dikutip Bleacherreport.

Selain itu, dalam masing-masing kelompok usia, Sablon mempunyai silabusnya sendiri. Sebagai contoh kelompok u-8 belajar menggiring bola, u-12 umpan-umpan pendek dan u-13 baru belajar taktik. Permainannya pun beda—beda, mulai dari 3 versus 3 naik ke 5 versus 5 kemudian 8 versus 8 hingga 11 versus 11.

Perjalanan panjang Sablon juga menghabiskan waktu 6,5 tahun untuk menjadikan kurikulumnya dipakai di seluruh negeri Belgia. Ia bahkan melakukan presentasi ke sekolah dan akademi di seluruh Belgia yang jumlahnya lebih dari 200 sekolah atau akademi.

Sekarang, Sablon sudah menjadi legenda sepakbola Belgia. Namun ia sudah tidak lagi menjadi direktur olahraga sejak 2015. Namun, kurikulum Sablon tetaplah menjadi harta berharga bagi sepakbola Belgia.

Kesempatan Terakhir

Setelah beberapa tahun hasil pembinaan Sablon, hasilnya mulai kelihatan di beberapa turnamen internasional. Lahirlah pemain seperti Courtois, Kompany, De Bruyne, Witsel, Hazard hingga Lukaku.

Hasilnya, pada Piala Eropa U-17 2007, mereka melaju ke semifinal yang dipandu oleh Hazard. Setahun berikutnya, U-23 berhasil mendapatkan perunggu bersama dengan Vincent Kompany, Thomas Vermaelen, Marouane Fellaini dan Jan Vertonghen.

Pada level senior, Belgia berhasil lolos ke Piala Dunia 2014 dan melaju hingga perempat final. Sebelumnya mereka menyapu bersih kemenangan di fase grup dan menyingkirkan Amerika di babak 16 besar. Namun di perempat final kandas oleh Argentina.

Sedangkan pada Piala Eropa 2016, langkah Belgia dikandaskan oleh tim kejutan Wales di perempat final. Padahal saat itu Belgia punya kans yang besar untuk melaju lebih jauh lagi.

Tak mau pulang lebih awal lagi, Pada Piala Dunia 2018 Belgia bermain dengan digdaya di fase grup, mengandaskan Jepang secara dramatis di 16 besar, menundukkan Brazil di perempat final, namun sangat disayangkan kalah oleh Prancis di semifinal. Belgia akhirnya bisa sedikit tersenyum ketika berhasil menjadi juara ketiga mengalahkan Inggris.

Pada Piala Eropa 2020, lagi-lagi Belgia kalah di perempat final. Kali ini mereka kalah dari sang juara Italia.

Generasi emas Belgia sekarang sudah tidak muda lagi, rata-rata mereka sudah berumur 30an, tentunya sudah banyak yang melewati masa kejayaannya sebagai pemain. Di Piala Dunia 2022 ini, tentunya menjadi ajang pembuktian terakhir generasi emas Belgia hasil dari didikan Sablon.

Generasi Emas Yang Tak Mendapatkan ‘Emas’
Sumber: Marca

Tinggal kita lihat bagaimana De Bruyne bersama rekan segenerasinya membaur dengan generasi baru di skuat saat ini. Besar harapan tentunya melebihi pencapaian di Piala Dunia 2018.

Namun, sekarang tinggal menunggu tangan dingin seorang Roberto Martinez maramu pemainnya. Pada Piala Dunia 2022 ini Belgia tergabung dalam grup F bersama Maroko, Kanada dan Kroasia.

Pastinya mudah bagi Belgia lolos dari grup, tinggal di babak gugur saja yang menjadi ujian terbesar Belgia. Jika Belgia tidak bisa menjadi juara pada Piala Dunia kali ini, mereka bisa disebut sebagai generasi emas yang tidak mampu mendapatkan emas.

Tabik!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *