Memahami Diving, Cara Kerja dan Mengatasinya

Ayosport.comSepak bola pernah dipandang orang-orang Inggris dengan sedikit sengit. Saya tidak bisa memastikan persepsi di atas dengan data, tetapi ada dua penulis berpengaruh negeri tersebut yang memandang sepak bola dengan sinis.

Penulis Animal Farm, George Orwell, begitu membenci sepak bola karena olahraga ini merupakan kepanjangan dari kepentingan imperialis. Oscar Wilde, penulis era Victoria pernah menulis begini, “Sungguh, sepak bola itu adalah permainan bagi gadis-gadis kasar dan kurang cocok bagi laki-laki lembut.”

Sepak bola tak sekeras rugby karena unsur kelembutannya itu. Hingga kini masih banyak orang-orang Inggris yang menganggap sepak bola sebagai baletnya kelas pekerja. Zaman berganti, globalisasi telah membuat olahraga ini populer dan ditonton miliaran orang. Di aspek permainan pun sepak bola berkembang, dari segi taktik sampai gaya bermain para pemainnya.

Olahraga, apa pun itu, menjunjung nilai-nilai sportivitas. Inilah yang dinamakan aspek moral. Kemenangan suatu tim, kejayaan seorang atlet, tidak boleh menodai sportivitas. Mereka yang melanggar, entah itu karena memakai doping atau pun bersekongkol dengan bandar judi untuk melakukan match-fixing, akan dikenai sanksi.

Tetapi itu begitu rentan diperdebatkan. Sepak bola membuat para penggemarnya kerap bertingkah inkonsisten. Saat keputusan wasit memihak dan memberikan keuntungan bagi tim, walau keputusan tersebut begitu kontroversial, kita tak peduli. Kita tetap bersorak dan dengan enteng berkata, “A goal is a goal. Deal with it.

Sampai saat ini kita masih mengagungkan gol tangan tuhan Diego Maradona ke gawang Inggris. Orang-orang Irlandia masih menaruh dendam pada Thierry Henry, yang berlaku curang di laga playoff antara Republik Irlandia melawan Prancis. Di Stade de France kala itu, Irlandia bisa lolos ke Piala Dunia 2010 andai tangan Henry tidak ‘nakal’ sehingga Prancis dapat mencetak gol penentu.

Selain dua handsball di atas, aksi curang lain yang banyak dikritisi penonton adalah aksi diving yang dilakukan pemain guna meraih keuntungan dari keputusan wasit. Saking jamaknya dilakukan, diving sudah menjadi seni tersendiri yang tidak sembarang orang bisa melakukannya. Kita bisa melekatkan skill ini pada pemain yang lihai menggiring bola, karena mereka-lah yang paling sering diganjal kaki-kaki lawan.

Ashley Young, Eden Hazard, Neymar, Cristiano Ronaldo, Luis Suarez, adalah nama-nama yang sering memanfaatkan titik lemah wasit. Maklum, wasit harus memperhatikan 22 pemain yang bergerak begitu cepat. Sudut pandang mata wasit, tekanan penonton, provokasi pemain, akan mudah memengaruhi keputusan yang mereka ambil. Keputusan yang takkan bisa mereka ubah setelah peluit mereka tiup.

UEFA dan FIFA tentu tak tinggal diam. Pada 2009, penyerang Arsenal, Eduardo, diberi sanksi atas aksi teatrikalnya yang membuahkan penalti bagi timnya saat menghadapi Glasgow Celtic di Liga Champions. Eduardo didakwa larangan bermain selama dua laga, meski kemudian ia menang banding.

Apakah hukuman tersebut cukup adil? Pasalnya, Arsenal tetap mendapatkan penalti (Eduardo sendiri yang mengambilnya) di pertandingan yang berakhir 3-0 bagi The Gunners itu. Diving adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan pemain untuk mengelabui wasit, satu-satunya orang yang memiliki kuasa untuk memberikan imbalan atas aksi curang tersebut.

Tapi akuilah, kita kerap bersorak saat aksi diving pemain tim kita bisa berbuah penalti. Di posisi sebaliknya, kita akan mengutuk pemain lawan sekeras mungkin. Menumpahkannya di media sosial, bahwa pemain tersebut (katakanlah Ashley Young), telah mencederai keagungan dan keindahan sepak bola.

Beberapa waktu lalu, ramai diberitakan bahwa asosiasi sepak bola Inggris, FA, akan memberlakukan hukuman retrospektif (retrospective ban) bagi pemain yang kedapatan melakukan diving.

Diving tidak hanya dilakukan guna mendapatkan penalti atau tendangan bebas. Pemain bisa melakukannya agar pemain lawan diganjar hukuman kartu, meski tidak ada sentuhan pelanggaran sama sekali.

FA memutuskan yang menilai adalah tim investigasi independen, terdiri dari bekas pemain, bekas wasit, juga mantan pemain. Orang yang kedapatan bersalah maka diberi larangan bermain sebanyak dua laga. Sepanjang 2016/2017, terdapat berbagai diving yang antara lain dilakukan Dele Alli, Marcus Rashford, Robert Snodgrass, juga Leroy Sane.

Dengan diberlakukannya peraturan ini, musim depan nama-nama di atas akan sedikit berhati-hati. Badan seperti FIFA, beberapa kali sempat mengeluarkan kebijakan yang bersifat membantu wasit, seperti goal-line technology, atau bantuan video. Jika terhitung sukses, besar kemungkinannya pengawasan atas diving ini diterapkan ke seluruh negara.

Posisi pengadil pertandingan memang posisi yang rentan tekanan. Mereka yang paling mungkin mengubah hasil pertandingan. Para mafia bola pun kerap merangkul mereka ketika suatu skandal sedang mereka rencanakan. Inilah yang akhirnya membuat pemain jahil mengelabui mereka dengan berpura-pura kesakitan.

Apapun itu, kebijakan ini takkan mampu mengubah hasil pertandingan. Setelah peluit ditiup, keputusan wasit tidak bisa diganggu. Ia yang melakukan aksi tipu-tipu, lalu diberi ‘upah’ lewat penalti, akan tetap mendapat penalti. Hanya hakim garis dan asisten wasit yang bisa mereka minta pendapat. Tim penilai hanya akan melakukan investigasi setelah pertandingan usai.

Jika Wilde bisa melihat dari alam baka sana, ia pasti akan tersenyum. Penilaiannya terhadap sepak bola tetap berlaku. Olahraga ini begitu ‘kemayu’, sampai pria sekekar Cristiano Ronaldo akan rela jatuh berguling-guling di atas rumput, sambil memasang wajah meringis.

Tetapi moral akan gampang goyang di benak para penonton. Gol tangan tuhan Maradona, sampai sekarang, dianggap bak mukjizat. Aksi Maradona seperti menegaskan tuah ajaibnya sebagai salah satu pemain terbesar sepanjang sejarah. Sebuah momen magis di mana tangan, yang normalnya tidak boleh menyentuh bola secara sengaja, Maradona gunakan untuk mencetak gol. Kita pun memaklumi wasit dan memuja El Diego.

Selain itu, ada argumen yang mengatakan para penyerang dimungkinkan melakukan diving karena kerasnya perlakuan para bek terhadap mereka. Apalagi jika mereka penyerang-penyerang yang menggunakan dribble sebagai salah satu senjata andalan.

Tercatat, penyerang seperti Alexis Sanchez, Raheem Sterling, sampai Daniel Sturridge, melakukannya sepanjang 2016/2017. Perbuatan diving dinilai sebagai usaha mereka untuk membalas perlakuan beringas para pemain belakang. Sayang, wasit jeli saat melihat usaha nama-nama di atas, sehingga menghadiahi mereka kartu kuning.

Barcelona juga dinilai banyak pihak sebagai tim yang piawai memanfaatkan diving. Tak hanya meraih keputusan wasit yang memihak, mereka juga mampu memanfaatkan bola-bola mati menjadi gol. Penggemar pun bersorak, menilai hal ini merupakan kelihaian Barcelona. Mereka diberkahi pula oleh pemain-pemain yang piawai mempertahankan bola, sehingga mengundang pendekatan kasar dari lawan.

Skenario seperti itu bisa juga dilakukan oleh Arsenal, yang sama-sama memanfaatkan penguasaan bola. Sebagian pendukung Arsenal tentu pernah berpikir bahwa pemain mereka harus lebih baik lagi dalam ‘memanfaatkan’ perlakuan kasar lawan. Alih-alih diving, Arsenal bermain terlalu naif sehingga banyak pemainnya yang sering cedera.

Pandangan tersebut saya pikir sah belaka. Mendukung suatu tim bisa menjadi laku hidup irasional sehingga para pelakunya sering inkonsisten dalam bersikap. Seorang antropolog bahkan melihat perilaku penggemar bola bak manusia suku primitif (tribal culture).

Peraturan FA ini bukannya tidak baik. Tetapi kita perlu ingat, para pemain dan penonton juga sering bersikap tak peduli dengan sanksi. Hukuman dua pertandingan menjadi sepele bila ternyata aksi diving mereka mampu menyelamatkan klubnya dari degradasi.


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *